Dokter Gigi #2

Rabu 11 Juni 2011

Kegelisahan kembali berulang, janji jam 1 tapi jam 10 gua udah rapi siap berangkat, persis kaya anak yang mau masuk sekolah untuk pertama kalinya, tinggal nunggu royan sama oyya aja, karena mereka udah janji mau nemenin nyabut gigi kaya yang udah gua ceritain disini.

Tunggu punya tunggu sampai jam 11 nggak ada kabar sama sekali, sms ngga dibalas, telpon pun nggak diangkat. Akhirnya gua memutuskan untuk berangkat, dan entah kenapa tiba-tiba gua lewat jalan yang biasanya bukan jalur berangkat, melainkan jalur pulang. Ternyata baru beberapa ratus meter, ketemu lah sama anak dua itu, untunglah. Coba kalau lewat jalan yang biasa, pasti udah keselingsingan.

Rencana berubah, ternyata oyya enggak jadi nganterin, kaga ngasih alasen pula. Yasudah akhirnya seperti kemarin, berangkatlah gua sama royan. Dijalan masih sempet-sempetnya si royan nakut-nakutin sambil ngeledekin:

“Farrah cantik loh dud”

“Halah, tetep aja biar secantik farrah quin juga kaga bakalan ngefek, tetep aja gua ngeri. Lagian kaya elu pernah ketemu aja”

“belum sih”

“tuh kan, apa lagi. Sial dangkalan luh!, haha”

Singkat cerita, sampai lah kami di RSGM lagi. Langsung gua sms farrah, bilang kalau udah sampai di TKP.

Dan, tet tottt..

Rupanya si Farrah sang dokter koas yang mau nyabut gigi gua ini temen SMPnya Royan sodara-sodara!

Dunia ini memang sempit rupanya. Sebagai orang yang baik hati dan baik budi, mereka gua biarkan untuk mengadakan reuni sebentar 😀 . Setelah dirasa cukup reuniannya, Farrah minta izin buat sholat dzuhur dulu.

Nungguin farrah sholat rasanya jantung gua berdetak lebih cepat, bukan apa-apa, gua cuma tambah keringet dingin, apa lagi sholatnya lumayan lama, kata si royan mah doanya panjang biar enggak terjadi apa-apa sama proses pencabutan gigi, wadezigg!

Kelar bu dokter sholat, gua diajak masuk ke Klinik Bedah Mulut. E buseeh, itu nama aja udah horror banget, yang terbayang adalah bahwa ada semacam peralatan buat melakukan operasi pembedahan didalamnya, hahaha.

Disuruhnya gua ganti sandal pake sandal klinik, lalu masuk ke ruang tindakan.

Seperti biasa, sebelum eksekusi gua ditanya ini itu sama mbak dokter, terutama mengenai riwayat kesehatan keluarga,  dan lain sebagainya, kemudian diakhiri dengan tanda tangan surat pernyataan kesediaan melakukan tindakan.

Setelah semua kelar, barulah masuk fase cek tensi dan nadi.

Tau apa yang terjadi?

Tensi darah gua naek sampai 140, hahaha. Farrah kaget dong, masa masih lelaki setampan, sekeren, sebaik dan semuda gua (huekss :p) tensi-nya begitu tinggi. Usut punya usut, kayanya tensi tinggi itu karena gua setres dan takut. Ketahuan juag deh, kaga bisa diumpet-umpetin takutnya, hhe. Lagian gimana nggak setres, disebelah gua menyaksikan dan mendengar dengan mata telinga sendiri ada pasien yang sedang melakukan operasi gigi, oh mai gat, mengerikan…

Alhasil karena tensi gua yang cukup tinggi, tindakan ditunda sebentar, nunggu tensi darah jadi normal. Biar tambah rileks, gua diajak ngobrol sambil bercanda dikit. 20 menit kemudian tensi dicek lagi, ternyata turun memang, tapi nggak banyak, dari 140 ke 130. Ngobrol lagi, terus 30 menit kemudian dicek lagi, tapi masih tetap di angka 130. Yasudah, akhirnya tindakan dilakukan, masa mau nambah waktu buat nurunin tensi lagi sih? Itu aja udah satu jam sendiri.

Bismillahirrohmanirrohim,

Tindakan diawali dengan pembiusan bagian dan dalam gusi, gusi lu akan disuntik dengan suntikan yang berisi obat untuk mengebalkan. Nah, setelah disunti kebal, gusi lu akan sekuat baja, percaya deh, karena gua enggak ngerasain apa-apa walaupun gigi gua ditarik-tarik pake tang dan mungkin juga digetok pake palu. Hahaha

Cuma setelah disuntik kebal ini, gua jadi mual, karena tiba-tiba seperti ada daging yang menggumpal di gusi, rasanya aneh banget dah.

Pencabutan yang pertama lancar, Alhamdulillah.

Tapi masih ada sesi berikutnya, yakni nyabut akar yang tertinggal. Ini terjadi karena gigi geraham gua udah memerdekakan diri dari akarnya 😀

Ternyata, dimana-mana yang paling susah itu nyabut akar men. Enggak akar pohon, akar gigi atau akar pangkat tiga (matematika kali, hhe) semua sama-sama susah.

Akar pertama dicabut dengan lumayan mudah

Nah, akar terakhir yang kayanya susah bener. Farrah terlihat kesulitan mencabutnya, ini terbukti dari seringnya dia ganti posisi nyari tempat yang pas buat nyabut si akar.

Sukses gua jadi orang terkenal, karena se-enggaknya gua hitung ada 5 dokter koas yang mengelilingi gua untuk melihat perjuangan farrah mencabut akar gigi yang tertinggal, hihihi.

Kira-kira 25 menit berlalu, akhirnya akar tunggal itu tercabut juga. Semua lega. Gua, Farrah, dan kelima dokter penggembira itu, Alhamdulillah.

Setelah prosesi pencabutan selesai (termasuk diberikan semacam antiseptik gitu), gusi yang bolong itu disumpel sama kapas. Lalu kami turun ke lantai satu untuk nebus obatnya. Yap, gua dapet antibiotik sama obat penghilang sakit hati -eh, sakit gigi:p -, namanya ibuprofen.

Sambil nunggu obat, kami ngobrol-ngobrol sebentar. Royan yang banyak ngomong, secara gigi gua baru aja ilang satu, enggak enak rasanya kalau banyak bicara. Panggilan datang, obat diambil dan kami ( Gua & Royan ) pun pulang, tak lupa sebelumnya mengucapkan  terima kasih kepada mbak dokter farrah yang sudah berkenan direpotkan.hhe.

Tini & Tono a.k.a Oyya dan Royan

3 pemikiran pada “Dokter Gigi #2

  1. berbagi cerita: dulu saya pernah juga sakit gigi yang kambuhan, ga sembuh – sembuh. takut ke dokter, takut dicabut, karena mitos – mitos yang mas ceritakan itu juga. alhamdulillah akhirnya sembuh juga. tapi bukan atas penanganan dokter gigi, melainkan entah tabib entah dukun disebutnya, tapi tabib aja biar ga kedengaran syirik.:p pengobatannya pake daun pandan berduri yang ditempelin pipi bagian gigi yang sakit, disiram air dengan disertai doa – doa. dan keluarlah kuman – kuman dalam gigi (katanya gitu), akhirnya sembuh dan alhamdulillah sampai sekarang ga pernah sakit gigi lagi.:)

    • hehehe, iya mba. ke dokter gigi sangat menyenangkan^^
      atau jangan2 mbaknya ini juga dokter gigi ya?

Tinggalkan komentar