Bangga Jadi Betawi
-Catatan kecil dari rantau-
Empat tahun terakhir biasanya saya rutin menulis beberapa sajak untuk memperingati “ulang tahun” Jakarta setiap 22 Juni [lepas dari kontroversi mengenai tanggal ini] dari kota yang berjarak empat ratus empat puluh tiga kilometer dari tanah Betawi, sebagai peringatan sederhana dengan gaya saya sendiri. Sajak-sajak itu terangkum dalam Ode Untuk Jakarta, sajak-sajak yang tidak lebih baik dari kondisi Jakarta yang sebetulnya. Namun tahun ini saya berharap bisa berhenti menulis Ode itu, saya akan menggantinya dengan tulisan ringan, mungkin semacam catatan pribadi, selain karena memang 22 Juni sesungguhnya bukan merupakan hari lahir Jakarta, melainkan hari Nakba (duka cita) bagi orang Betawi, akan tetapi juga berharap bisa lebih bermanfaat lewat tulisan berparagraf ketimbang lewat bait-bait singkat.
Jujur saya akui, kesadaran budaya ini baru mulai timbul sejak saya jauh dari tanah Betawi. Yogyakarta lah yang menyadarkan saya untuk kembali mengakui nilai-nilai luhur dan bangga menjadi “Orang Betawi”. Sebelumnya saya merasa acuh dan tidak peduli, dulu saya selalu berpikir, apa untungnya mengidentifikasi diri sebagai orang Betawi? Terlebih streotype orang Betawi selalu lah negatif.
Sebetulnya saya memiliki pilihan, mengidentifikasi diri sebagai orang Betawi atau sebagai orang Sunda. Karena toh saya memang memilik darah campuran, saya mewarisi darah Sunda dari ayah yang memang berasal dari Pandeglang, Banten. Sedangkan darah Betawi saya dapatkan dari Ibu yang blasteran Betawi Condet dan Betawi Cijantung. Akan tetapi dalam darah campuran itu, alam bawah sadar saya sedari dulu selalu menganggap bahwa saya adalah orang Betawi, ini terjadi lantaran sejak lahir saya selalu lekat dengan budaya Betawi dibawah asuhan kakek dan nenek dari ibu yang memang Betawi totok. Itulah mengapa kemudian saya memilih mengidentifikasi diri sebagai orang Betawi (perkara orang Betawi-nya menganggap saya bagian dari mereka atau tidak, itu soal lain. Hehe).
Yogyakarta yang memang masih bersandarkan pada tradisi leluhurnya kemudian menyadarkan saya bahwa “bersuku” tidak lah menjadi hina, bukan bermaksud menjadi primordial atau chauvinis. Akan tetapi ini penting untuk melestarikan nilai-nilai tradisi yang baik dan bermanfaat untuk menghambat arus globalisasi yang semakin menggurita.
Dengan alasan itu lah, kemudian saya belajar untuk jatuh cinta lagi dengan Betawi, dengan Jakarta. Dimulai dengan banyak belajar tentang sejarahnya, yang sampai hari ini pelajaran itu masih belum selesai. Membandingkan berbagai buku yang ditulis oleh para sejarawan tentang orang Betawi, mulai dari Casle yang bilang bahwa suku bangsa Betawi itu berasal dari budak, hingga Dato’ Haji Ridwan Saidi, sang tetua adat dan penjaga harkat martabat orang Betawi yang mengatakan dalam berbagai buku beliau, bahwa suku bangsa Betawi bukan berasal dari budak, melainkan suku bangsa yang telah ada sejak awal permulaan abad Masehi, mereka adalah suku bangsa asli penghuni Negeri Nusa Kalapa (yang kita kenal sekarang dengan Jakarta dan sekitarnya). Bahkan yang lebih mencengangkan adalah temuan Dato’ bahwa orang Betawi telah menganut Islam, jauh sebelum fatahillah membumihanguskan Nusa Kalapa pada 22 Juni 1527 (tanggal yang sekarang diperingati sebagai hari ulang tahun Jakarta). Hal ini beliau buktikan salah satunya dengan naskah perjanjian dagang antara Syah Bandar Kalapa: Wak Item, Kerajaan Pajajaran dan Portugis yang terdapat huruf Waw (abjad Arab) sebagai tanda tangan Wak Item. Maka tidak aneh jika dulu saya sering mendengar ungkapan dari Engkong saya yang bilang: “Kalo kaga Islam, berarti bukan orang Betawi”
Simpang sejarah masih terus berlanjut hingga hari ini, maka tersebutlah para pendekar yang gigih berjuang membela harkat dan martabat bangsa Betawi. Berjuang bukan dengan bendo atau ilmu kanuragan, tetapi dengan ilmu pengetahuan. Izinkan saya menyebut dengan Takzim nama-nama beliau, Dato’ Haji Ridwan Saidi, Alwi Shahab, Ahmad Mathar Kamal, Chairil Gibran Ramadhan, Aba Mardjani, dan sederet orang hebat lainnya. Mereka gagah menghadapi lawan-lawannya dengan debat terbuka, diskusi ilmiah, tulisan cerdas, sastra berkelas, penelitian mendasar. Ya, mereka berhasil membuktikan dan mengubah persepsi banyak orang bahwa orang Betawi bukan lah suku bangsa yang terbelakang, melainkan mata air peradaban yang tidak akan pernah lekang dimakan zaman.
Dan saya masih terus belajar kepada para Begawan itu lewat karya-karya mereka, berharap suatu hari nanti dapat langsung bertatap muka, beranjangsana, untuk menyerap ilmu-ilmu yang sangat berharga itu.
Dari Jogja, saya berusaha mengikuti langkah para Begawan itu. Maka saya dan beberapa orang kawan yang memiliki kesadaran sama, mulai kembali berkesenian, mulai dari hajir marawis, ngelenong, pencak silat, hingga adu pantun selalu kami latih. Diskusi kecil berkala selalu kami gelar. Kami selalu “marah” jika ada yang mencerca Jakarta, tidak sampai hati mendengar makian orang-orang itu tentang tanah kelahiran kami, maka akan kami jawab makian mereka dengan karya, sekecil apapun.
Belum banyak memang yang dapat dilakukan, tapi setidaknya izinkanlah kami untuk kembali mulai mencintai Betawi. Kembali bangga menjadi orang Betawi. Kami meyakini bahwa satu-satunya jalan untuk mengubah persepsi orang tentang Betawi adalah dengan ilmu pengetahuan (baca: juga prestasi)
Dan kampung kita, Jakarta dengan 1001 persoalannya, biarlah menjadi tempat labuhan cinta. Suatu saat nanti Jakarta pasti akan membaik, kembali menjadi pusat peradaban. Bangkitnya peradaban itu akan dimulai dari sungai ciliwung yang hari ini sedang sekarat. Karena bukan kah peradaban-peradaban besar dunia juga selalu bermula dari aliran sungai? Sebut saja sungai nil, yang menjadi pusat peradaban mesir kuno yang melegenda, sungai eufrat, hingga sungai gangga.
Maka berhentilah mengumpat Jakarta, wahai para pengumpat!
Berhentilah mencaci Jakarta, wahai para pencaci!
Jakarta sekarat, bukan kah itu sebab dari tindakan kita semua yang memperlakukan Jakarta sebagai tambang emas dan terus dieksploitasi tanpa henti, menggusur nilai-nilai agama dan tradisi?
Jakarta sekarat, bukan kah itu merupakan anak haram hasil perselingkuhan pemerintah daerahnya dengan modal?
Saatnya akan tiba, yakni ketika kita ‘merebut’ kembali Jakarta dari cengkraman modal asing yang menghisap darah rakyatnya sendiri. Sejarah akan kembali berulang, seperti pemberontakan Haji Entong yang memimpin masa rakyat Betawi melawan kesewenang-wenangan kompeni di Condet.
Dan kini mari kita bersiap menyambut waktu itu tiba, mengisi bekal secukupnya, dengan agama dan ilmu pengetahuan. Agar pada gilirannya, anak cucu kita akan bangga berujar: “saya orang Betawi” karena tahu dan kenal cerita leluhurnya yang ditulis dengan tinta emas sejarah. Tabe.
Yogyakarta, 23 Juni 2011
Dudy Sya’bani Takdir
[Kalitbang Ikatan Pelajar dan Mahasiwa Betawi DKI Jakarta-Yogyakarta]
*ilustrasi gambar dari: kampungbetawi.com