Bangga Jadi Betawi

Bangga Jadi Betawi

-Catatan kecil dari rantau-

 

Empat tahun terakhir biasanya saya rutin menulis beberapa sajak untuk memperingati “ulang tahun” Jakarta setiap 22 Juni [lepas dari kontroversi mengenai tanggal ini] dari kota yang berjarak empat ratus empat puluh tiga kilometer dari tanah Betawi, sebagai peringatan sederhana dengan gaya saya sendiri. Sajak-sajak itu terangkum dalam Ode Untuk Jakarta, sajak-sajak yang tidak lebih baik dari kondisi Jakarta yang sebetulnya. Namun tahun ini saya berharap bisa berhenti menulis Ode itu, saya akan menggantinya dengan tulisan ringan, mungkin semacam catatan pribadi, selain karena memang 22 Juni sesungguhnya bukan merupakan hari lahir Jakarta, melainkan hari Nakba (duka cita) bagi orang Betawi, akan tetapi juga berharap bisa lebih bermanfaat lewat tulisan berparagraf ketimbang lewat bait-bait singkat.

Jujur saya akui, kesadaran budaya ini baru mulai timbul sejak saya jauh dari tanah Betawi. Yogyakarta lah yang menyadarkan saya untuk kembali mengakui nilai-nilai luhur dan bangga menjadi “Orang Betawi”. Sebelumnya saya merasa acuh dan tidak peduli, dulu saya selalu berpikir, apa untungnya mengidentifikasi diri sebagai orang Betawi? Terlebih streotype orang Betawi selalu lah negatif.

Sebetulnya saya memiliki pilihan, mengidentifikasi diri sebagai orang Betawi atau sebagai orang Sunda. Karena toh saya memang memilik darah campuran, saya mewarisi darah Sunda dari ayah yang memang berasal dari Pandeglang, Banten. Sedangkan darah Betawi saya dapatkan dari Ibu yang blasteran Betawi Condet dan Betawi Cijantung. Akan tetapi dalam darah campuran itu, alam bawah sadar saya sedari dulu selalu menganggap bahwa saya adalah orang Betawi, ini terjadi lantaran sejak lahir saya selalu lekat dengan budaya Betawi dibawah asuhan kakek dan nenek dari ibu yang memang Betawi totok. Itulah mengapa kemudian saya memilih mengidentifikasi diri sebagai orang Betawi (perkara orang Betawi-nya menganggap saya bagian dari mereka atau tidak, itu soal lain. Hehe).

Yogyakarta yang memang masih bersandarkan pada tradisi leluhurnya kemudian menyadarkan saya bahwa “bersuku” tidak lah menjadi hina, bukan bermaksud menjadi primordial atau chauvinis. Akan tetapi ini penting untuk melestarikan nilai-nilai tradisi yang baik dan bermanfaat untuk menghambat arus globalisasi yang semakin menggurita.

Dengan alasan itu lah, kemudian saya belajar untuk jatuh cinta lagi dengan Betawi, dengan Jakarta. Dimulai dengan banyak belajar tentang sejarahnya, yang sampai hari ini pelajaran itu masih belum selesai. Membandingkan berbagai buku yang ditulis oleh para sejarawan tentang orang Betawi, mulai dari Casle yang bilang bahwa suku bangsa Betawi itu berasal dari budak, hingga Dato’ Haji Ridwan Saidi, sang tetua adat dan penjaga harkat martabat orang Betawi yang mengatakan dalam berbagai buku beliau, bahwa suku bangsa Betawi bukan berasal dari budak, melainkan suku bangsa yang telah ada sejak awal permulaan abad Masehi, mereka adalah suku bangsa asli penghuni Negeri Nusa Kalapa (yang kita kenal sekarang dengan Jakarta dan sekitarnya). Bahkan yang lebih mencengangkan adalah temuan Dato’ bahwa orang Betawi telah menganut Islam, jauh sebelum fatahillah membumihanguskan Nusa Kalapa pada 22 Juni 1527 (tanggal yang sekarang diperingati sebagai hari ulang tahun Jakarta). Hal ini beliau buktikan salah satunya dengan naskah perjanjian dagang antara Syah Bandar Kalapa: Wak Item, Kerajaan Pajajaran dan Portugis yang terdapat huruf  Waw (abjad Arab) sebagai tanda tangan Wak Item. Maka tidak aneh jika dulu saya sering mendengar ungkapan dari Engkong saya yang bilang: “Kalo kaga Islam, berarti bukan orang Betawi”

Simpang sejarah masih terus berlanjut hingga hari ini, maka tersebutlah para pendekar yang gigih berjuang membela harkat dan martabat bangsa Betawi. Berjuang bukan dengan bendo atau ilmu kanuragan, tetapi dengan ilmu pengetahuan. Izinkan saya menyebut dengan Takzim nama-nama beliau, Dato’ Haji Ridwan Saidi, Alwi Shahab, Ahmad Mathar Kamal, Chairil Gibran Ramadhan, Aba Mardjani, dan sederet orang hebat lainnya. Mereka gagah menghadapi lawan-lawannya dengan debat terbuka, diskusi ilmiah, tulisan cerdas, sastra berkelas, penelitian mendasar. Ya, mereka berhasil membuktikan dan mengubah persepsi banyak orang bahwa orang Betawi bukan lah suku bangsa yang terbelakang, melainkan mata air peradaban yang tidak akan pernah lekang dimakan zaman.

Dan saya masih terus belajar kepada para Begawan itu lewat karya-karya mereka, berharap suatu hari nanti dapat langsung bertatap muka, beranjangsana, untuk menyerap ilmu-ilmu yang sangat berharga itu.

Dari Jogja, saya berusaha mengikuti langkah para Begawan itu. Maka saya dan beberapa orang kawan yang memiliki kesadaran sama, mulai kembali berkesenian, mulai dari hajir marawis, ngelenong, pencak silat, hingga adu pantun selalu kami latih. Diskusi kecil berkala selalu kami gelar. Kami selalu “marah” jika ada yang mencerca Jakarta, tidak sampai hati mendengar makian orang-orang itu tentang tanah kelahiran kami, maka akan kami jawab makian mereka dengan karya, sekecil apapun.

Belum banyak memang yang dapat dilakukan, tapi setidaknya izinkanlah kami untuk kembali mulai mencintai Betawi. Kembali bangga menjadi orang Betawi. Kami meyakini bahwa satu-satunya jalan untuk mengubah persepsi orang tentang Betawi adalah dengan ilmu pengetahuan (baca: juga prestasi)

Dan kampung kita, Jakarta dengan 1001 persoalannya, biarlah menjadi tempat labuhan cinta. Suatu saat nanti Jakarta pasti akan membaik, kembali menjadi pusat peradaban. Bangkitnya peradaban itu akan dimulai dari sungai ciliwung yang hari ini sedang sekarat. Karena bukan kah peradaban-peradaban besar dunia juga selalu bermula dari aliran sungai? Sebut saja sungai nil, yang menjadi pusat peradaban mesir kuno yang melegenda, sungai eufrat, hingga sungai gangga.

Maka berhentilah mengumpat Jakarta, wahai para pengumpat!

Berhentilah mencaci Jakarta, wahai para pencaci!

Jakarta sekarat, bukan kah itu sebab dari tindakan kita semua yang memperlakukan Jakarta sebagai tambang emas dan terus dieksploitasi tanpa henti, menggusur nilai-nilai agama dan tradisi?

Jakarta sekarat, bukan kah itu merupakan anak haram hasil perselingkuhan pemerintah daerahnya dengan modal?

Saatnya akan tiba, yakni ketika kita ‘merebut’ kembali Jakarta dari cengkraman modal asing yang menghisap darah rakyatnya sendiri. Sejarah akan kembali berulang, seperti pemberontakan Haji Entong yang memimpin masa rakyat Betawi melawan kesewenang-wenangan kompeni di Condet.

Dan kini mari kita bersiap menyambut waktu itu tiba, mengisi bekal secukupnya, dengan agama dan ilmu pengetahuan. Agar pada gilirannya, anak cucu kita akan bangga berujar: “saya orang Betawi” karena tahu dan kenal cerita leluhurnya yang ditulis dengan tinta emas sejarah. Tabe.

Yogyakarta, 23 Juni 2011

Dudy Sya’bani Takdir

[Kalitbang Ikatan Pelajar dan Mahasiwa Betawi DKI Jakarta-Yogyakarta]

*ilustrasi gambar dari: kampungbetawi.com

Mengenang Condet

Padahal, dulu banyak orang optimistis Condet bakal menjadi trade mark Jakarta. Berbatasan dengan bekas terminal bus Cililitan dan Pasar Minggu, Condet salah satu kawasan yang 90% penduduknya asli Betawi. Condet tahun 1970-an, versi Condet, Cagar Budaya Betawi karangan Ran Ramelan, terdiri atas kelurahan Kampungtengah, Batuampar, dan Balekambang. Luas selu-ruhnya 632 ha. Balekambang rata-rata dihuni 28 jiwa/ha, Batuampar 35 jiwa/ha, dan Kampungtengah 40 jiwa/ha. Bandingkan dengan tingkat hunian rata-rata di DKI saat itu yang 100 jiwa/ha.
Condet kaya akan kebun berpohon rindang. Udaranya bersih, penuh kicauan burung kakak tua jambul putih, bayan, nuri, dan banyak lagi. Monyet melompat dari pohon ke pohon. Rata-rata orang Condet bertanam buah-buahan, terutama duku dan salak. “Salak Condet bahkan masuk buku teks wajib anak-anak SD zaman Belanda, karangan W. Hoekendijk,” bilang Dra. Tinia Budiati, M.A., penulis The Preservation of Betawi Culture and Agriculture in the Condet Area, yang juga direktur Museum Sejarah Jakarta.
Pohon duku di Condet banyak yang sudah berumur puluhan tahun. Saat musim duku tiba, hampir saban malam kaum lelakinya meronda di atas pohon, yang punya dahan liat dan kuat. Mereka berjaga dari codot dan kalong, yang konon hanya takut pada pohon yang “dihinggapi manusia”. Condet juga penghasil pisang (terkenal besar dan manis), durian, dan melinjo yang diolah jadi emping. Kabarnya, emping Condet sangat gurih. Kalau di tempat lain, sebelum digecek, melinjo direbus lebih dahulu. Nah, di Condet, melinjo tidak direbus, melainkan dinyanya alias digoreng.
Kekhasan Condet juga terlihat dari bahasa Betawi yang mereka gunakan, adat istiadat yang banyak mengambil nilai-nilai Islam, serta bentuk rumah mereka.

Rumah asli Condet berlantai tanah, berdinding kayu. Jendelanya dinamai jendela bujang (bertirai batang bambu). Disebut jendela bujang, karena kerap dimanfaatkan bujang untuk mengintip calon istrinya yang dipingit di balik beranda. Serambi muka terbuka, hanya dibatasi pagar kayu setinggi pinggang serta ornamen khas di lisplang. Di belakang beranda ada pangkeng atau kamar tidur.
Di antara tiga kelurahan tadi, Balekambang yang paling kuat memegang tradisi. Mereka sangat fanatik dengan sekolah agama. Untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi, tak jarang para pemudanya bertualang ke Suriah atau Mesir. Mereka lebih fasih memainkan gambus dan qasidah. Lenong dan gambang keromong masih dianggap sebagai punye orang luar. Leluhur Balekambang bahkan beranggapan, daerah mereka “terlarang” buat orang asing. Pendatang yang hendak berniaga, harus siap-siap bangkrut. “Kutukan” yang kini tak lagi terbukti.

now playing: condet & ujung aspal pondok gede iwan fals

perih hati dan sesak dada mengenang condet.

Revolusi April di Condet

Memasuki kawasan Condet dari arah Cililitan dikenal sebagai salah satu pusat kemacetan di Jakarta Timur. Padahal Condet, yang terdiri dari tiga kelurahan (Bale Kambang, Batu Ampar dan Kampung Tengah) luasnya 632 hektare kira-kira lebih separuh lapangan Monas pernah hendak dijadikan Cagar Budaya Betawi. Alasan Bang Ali 30 tahun lalu, karena 90 persen masyarakatnya asli Betawi. Kala itu, 60 persen penduduk Condet petani salak dan duku, 20 persen buah-buahan lainnya, dan hanya 15 persen buruh/karyawan.

Kini, kebun dan tanah pertanian berubah jadi perumahan dan gedung bertingkat. Tidak ditemui lagi duku dan salak condet yang manis dan masir. Pohon-pohon melinjo yang dijadikan emping ketika ratusan ‘home industri’-nya menjamur di Condet kini sudah hampir tidak membekas. Warga Betawi sudah banyak hengkang. Sejumlah warga Betawi yang tersisa, kini tidak lagi menjual tanahnya seperti dulu. Mereka membangun rumah-rumah petak untuk dikontrakan. Hasil kontrakan cukup untuk hidup sederhana.

Banyak warga keturunan Arab dari Jakarta dan Jawa Timur kini tinggal di Condet. Seperti di Jl Condet Raya — jalan raya dua jalur yang selalu macet –, kini banyak penjual minyak wangi, kitab bahasa Arab, madu Hadramaut dan Arab sampai rumah makan penjual nasi kebuli. Tentu saja sejumlah gedung dan kantor penampungan TKW.

Kita mengangkat masalah Condet, karena dalam bulan April ini ada peristiwa besar di sini. Tepatnya pada 15 April 1916, ketika Haji Entong Gendut memimpin para petani di depan rumah Lady Rollensin, pemilik tanah partikulir Cililitan Besar. Pada pertengahan abad ke-17 kawasan Cililitan merupakan bagian dari tanah partikulir Tandjong Oost (kini Tanjung Timur), saat dimiliki Pieter van der Velde.

Setelah beberapa kali berpindah tangan, awal abad ke-20 jadi milik keluarga Rollinson. Sisa-sisa gedung ini yang pernah terbakar masih kita dapati, saat masih jadi rumah peristirahatan Vila Nova. Terletak di depan Markas Latihan Rindam Kodam Jaya (ujung Jl Raya Condet), bersebelahan gedung PP dan Super Indo Market. Kala itu, gedung tuan tanah pekarangannya begitu luas hingga mencakup kawasan Tanjung Barat dan Kramat Jati. Belanda menamakan Groeneveld (lapangan hijau). Di sini terdapat peternakan sapi dengan produksi ribuan liter susu per hari untuk konsumsi masyarakat Belanda di Batavia.

Kembali kepada Haji Entong Gendut, ia seorang berani. Gelar haji menunjukkan ia orang bertakwa. Berlainan dengan jagoan masa kini, waktu itu Haji Entong Gendot pembela rakyat tertindas. Melawan kekuasaan kolonial: tuan tanah yang memeras, dibantu wedana dan menteri polisi yang disebut upas. Syahdan para tuan tanah masa itu tidak kalah serakahnya dengan para koruptor masa kini. Hingga masyarakat bertanya-tanya apakah pemerintahan SBY-Boed bisa memberantas dan menghukum mereka.

Di Condet kekejaman terjadi saat Vila Nova yang sering dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk berakhir minggu, dijual pada Lady Robinson, orang kaya berkebangsaan Inggris. Lebih-lebih terhadap petani yang gagal membayar pajak. Dan tuan tanah kelewat getol mengadukan mereka ke landrad (pengadilan) untuk membikin perkara. Akibatnya banyak petani bangkrut, rumahnya dijual, tak jarang dibakar. Termasuk harta miliknya Pak Taba. Dan ketika eksekusi hendak dilaksanakan, rakyat Condet marah dan ramai-ramai mendatangi vila Nova guna menggagalkannya. Itu terjadi Februari 1916.

Insiden kedua April 1916. Waktu itu tengah berlangsung pertunjukan topeng. Dan ketika pertunjukan mendekati pukul 11 malam, terdengar teriakan-teriakan. Acara supaya dihentikan. Perintah datang dari Haji Entong Gendut. Rakyat patuh kepada tokoh kharismatik ini dan mereka bubaran dengan tenang.

Rupanya kala itu Haji Entong ingin membuat pemanasan. Ketika ia ditanya aparat kenapa ia berani nyetop pertunjukan topeng, ia menjawab: ”Demi Agama’. Ia hendak mencegah perjudian. Sambil dengan tegas dan memegang keris ia berikrar: ‘Siap untuk membela petani yang jadi korban kejahatan tuan tanah’.

Kemudian ada info yang memberihu para pejabat di Pasar Rebo dan Meester Cornelis banyak orang berkumpul di rumah Haji Entong Gendut. Ketika wedana diiringi para upas berseru agar Haji Entong keluar rumah, ia dengan suara mantap berkata: ”Saya akan keluar setelah shalat.” Ketika ia keluar, disertai ratusan para pengikutnya sambil berteriak: Allahuakbar..Sabilillah gua kagak takut mati. Pertempuran yang tidak seimpang terjadi. Tapi pihak Belanda kewalahan. Kemudian bantuan datang, dan Haji Entong Gendut tertembak mati sebagai syahid, jenazahnya dibuang ke laut oleh kompeni.

Setelah pemberontakan Haji Entong Gendut dipadamkan, sikap tuan tanah makin kejam. Rakyat yang sudah biasa ditakut-takuti itu akhirnya berani lagi mencoba melawan peraturan tuan tanah yang kejam. Pemberontakan kedua terjadi tidak sampai dengan kekerasan senjata. Ini berupa penjajagan, sampai di mana keberanian antek-antek tuan tanah tadi. Percobaan dilakukan dengan penebangan pohon-pohon besar yang tumbuh di tanah kuburan. Demikianlah pada 1923 terjadi penebangan di tanah pekuburan di Condet, yang mereka namakan Kober. Suatu keberanian melawan tindakan yang diharamkan Belanda.

Setelah itu rakyat Condet makin berani melawan kompeni. Hingga tidak jarang yang menunggak pajak. Ini berlangsung hingga 1934. Dipelopori beberapa orang rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai tuan tanah keturunan Jan Ameen. Rakyat meminta bantuan hukum pada Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin dll. Rakyat Condet menang perkara, tetapi seperti diuraikan oleh Ran Ramelan, penulis buku ”Condet Cagar Budaya Betawi”, sejauh ini belum ada keputusan, sehingga datang Pemerintahan Federal. Untuk mengenang kepahlawanan Haji Entong Gendut, pernah diusulkan agar salah satu jalan di Condet diabadikan nama almarhum.
Alwi Shahab

Jakarta (jangan) di Buang!

Jakarta dibuang aja!

“Apa yang kalian pikirkan tentang Jakarta?”

Begitu pertanyaan disebuah akun twitter beberapa hari yang lalu.

Kemudian ramailah orang mereply pertanyaan tersebut, karena sang pemilik akun adalah seorang politisi yang terkenal.

“Jakarta t*i an***g lah!”

“Jakarta harusnya di hapus aja dari peta”

“Menghabiskan sebagian umur dijalanan Jakarta karena kemacetan”

“Keras”

“Kriminal gan!”

Serta masih banyak lagi komentar lain yang masuk, dan hebatnya tidak ada satupun yang memberikan komentar positif tentang Jakarta.

Di lain kesempatan, awal bulan lalu. Dalam angkot 112 jurusan Depok-Kp.Rambutan, terjadi percakapan dua orang yang saya taksir adalah pegawai kantoran.

“Anjrit, harusnya gw udah sampe rumah ni jam segini”

“Biasalah, bukan Jakarta lah klo nggak macet”

“Kaya t** emang kota ini, mendingan kampung gw juga lah”

Saya nyela..

“yang nyuruh datang ke Jakarta siapa mas?”

Adegan selanjutnya tidak perlu dituliskan disini, karena hanya adegan gak penting, caci maki ala ibu kota dan saya khawatir ada anak di bawah umur membaca tulisan ini lalu menirunya.

Jakarta kota sejuta rasa, semua bercampur disana, hitam, putih, abu-abu, merah, kuning, hijau, lengkap. Semua ada. Dalam kesempatan ini saya ingin membawa anda mengenal sisi lain dari Jakarta, sisi yang selama ini di lupakan , bagian yang selama ini hanya menjadi sampah di sudut kota.

Jakarta keras, betul.

Jakarta kota macet, betul.

Jakarta kota banjir, betul.

Jakarta kriminal, bisa di bilang betul.

Lalu apa masalahnya sehingga saya berkepentingan membuat tulisan ini?

Okay, pertama saya ingin menjernihkan persoalan bahwa saya tidak bermaksud untuk SARA,menjadi chauvinis, atau apalah namanya itu. saya hanya ingin memberikan perspektif lain tentang Jakarta. Seperti seorang anak yang membela ketika orang tuanya di lecehkan, seperti kita (orang Indonesia) yang marah membabi buta saat beberapa kekayaan budaya juga alam Indonesia di caplok begitu saja oleh Malaysia.

Kedua, saya ingin kita semua bisa menjadi manusia seutuhnya, seperti pepatah para leluhur: dimana bumi di pijak, di situ langit di junjung. Artinya saya ingin kita bisa menghormati semua yang berlaku ditempat yang kita tinggali. Saya memang Asli Jakarta, Ibu saya dari Condet dan Ayah saya dari Jatinegara, namun sejak usia sekolah dasar saya sudah meninggalkan kota tercinta itu, melanglang buana, menyelesaikan pendidikan dasar di Bogor, sempat singgah di Karawang, sekolah lanjutan tingkat pertama di Tangerang Selatan, lalu SMA di Serang dan kini saya berdomisili di Yogyakarta. Pengalaman itu membuka mata saya bahwa Indonesia tidak lah milik satu suku saja, begitu pula dengan Jakarta.

Dulu Babanya engkong saya dalam satu kesempatan, pernah berbicara disebuah masjid, saat itu sedang musimnya urbanisasi dari berbagai daerah ke Jakarta. Sebagai sesepuh, beliau didaulat oleh masyarakat untuk bicara, katanya: “Gua lahir di Jakarta, ikut ngebebasin Jakarta dulu dari jepang, jadi saksi waktu monas di bangun, bahkan tanah emak moyang gw yang sekarang jadi stadion senayan (Gelora Bung Karno-pen) . Jakarta kampung halaman gw, tapi gw kaga mau serakah, elu pada boleh nyari makan dimari, nyari idup di mari, ntu kebon salak di batu ampar boleh lu pade olah, kalo ada orang betawi nyang ngusik-ngusik, leher  gw jadi jaminannya. Tapi elu pade kudu tengetin, Anggap Jakarta eni kampung lu juga, kudu lu jaga, kudu lu pelihara. Jangan sekali-kali elu cuman ngambil untung dimari terus dibawa balik ke kampung asal lu pada. Selamet dateng dah di mari, mudah-mudahan pada betah”

Itulah deklarasi beliau, ucapan selamat datang dari penduduk asli condet kepada para pendatang, diawal tahun 80-an. Orang betawi, tidak sama sekali merasa memiliki Jakarta sendiri, mereka sadar bahwa ketika Jakarta di tetapkan sebagai ibu kota, maka Jakarta dan lima wilayah wilayah betawi (begitu istilah Bens radio menyebut Jabodetabek) milik Indonesia, semua orang dari manapun asalnya, apapun warna kulitnya, bagaimanapun bahasanya berhak tinggal dan mencari hidup di Jakarta, kampung halaman mereka. Bahkan mereka rela berbagi tanah untuk para pendatang yang mengadu nasib di ibu kota, dan mereka hanya meminta satu syarat: “Anggap Jakarta eni kampung lu juga, kudu lu jaga, kudu lu pelihara” Be respect please..!

Dan hari ini, Jakarta sekarat.

Siapa yang masih peduli?

Para pendatang sibuk cari uang, sambil sesekali memaki Jakarta.

Penduduk aslinya sibuk rebutan warisan, terkotak-kotak dalam berbagai organisasi yang memunculkan kecurigaan sesama warga betawi. Atau yang merasa “kalah” memilih hijrah ke wilayah pinggiran Jakarta.

Jakarta sekarat, darah di nadinya hampir muncrat lantaran tersumbat jutaan kendaraan beroda dua dan empat.

Jakarta sekarat, Jantungnya hampir berhenti berdetak lantaran selalu kemasukan air bah luapan hujan.

Jakarta sekarat, lantaran anak-anak kecil yang tinggal di atas nya sudah mahir menggunakan pedang untuk membunuh orang yang berbeda seragam, sudah mahir memaki dengan bahasa yang paling menjijikan.

Siapa yang mau peduli?

Sekali lagi, silahkan anda tinggal di Jakarta, tidak peduli anda bermata sipit atau belo, tidak peduli anda di panggil mas, abang, uda, akang, kokoh, cici atau kakak, tidak peduli anda beroda dua, empat atau enam.

Tapi sekali lagi,

Jaga dan cintai kota itu, seperti anda mencintai kampung halaman yang selalu anda rindukan, yang tiap tahun saat hari raya selalu anda nantikan keharumannya.

Jakarta tidak punya salah saudara, kalau pun saat ini anda menyaksikan banyak kesalahan terjadi di tanah Jakarta, itu karena pengelolanya tidak benar-benar cinta pada Jakarta. Mereka sekadar cari uang, cari kedudukan, cari jabatan. Apa peduli mereka pada Jakarta dengan budayanya! Buktinya cagar budaya Jakarta saja dipindahkan puluhan kilometer jauhnya dari Jakarta! Kalau babanya engkong saya masih hidup, merekalah yang saya rasa pertama kali akan di datangi oleh beliau sambil mengacungkan bendo-nya.

Jadi, tidak ada lagi alasan untuk memaki Jakarta, karena anda, saya, kita semua hidup di atasnya. Jakarta “memberikan” kita kehidupan yang tidak bisa kita dapatkan di kampung halaman. Betul-betul pedih rasanya hati mendengar ada orang yang memaki jakarta.

Sekali lagi “Anggap Jakarta eni kampung lu juga, kudu lu jaga, kudu lu pelihara” Be respect please..!

KAMPUNG KITA KALAU BUKAN KITA YANG NGEJAGA, SIAPA LAGI?!

 

Tulisan ini untuk semua saudara saya yang sudah lama tinggal , baru tinggal, atau baru saja akan datang di Jakarta.

Kota Pengasingan, 24 Maret 2011.

Dudy Sya’bani Takdir bin K.H.Bunyamin Thaufa bin Hasan Bin H.Hasbulloh.

Nutur Capi

 

Musim hujan mengingatkan saya akan kecapi. Bukan nama alat musik, melainkan nama buah. Pohon kecapi banyak bertumbuhan di kebun-kebun dekat rumah saya. Buahnya lebat saat musim hujan. Berjatuhan ketika angin berhembus. Namun, sekarang tempat di mana pohon kecapi itu tumbuh telah menjadi bangunan rumah. Itulah mengapa saya mengingatnya. Saya merindukan keriangan di masa kecapi berbuah, yang kami sebut musim kecapi.

Setiap kali musim kecapi datang, anak-anak di kampung saya, punya kebiasaan mencari kecapi di kebun-kebun. Layaknya orang-orang Betawi yang senang menyingkat kata, kami pun menyebut kecapi lebih ringkas menjadi “capi”. Kami mencari kecapi tersebut bukan dengan memetik atau membelinya, melainkan memungut kecapi-kecapi yang berjatuhan di bawah pohonnya. Kebiasaan tersebut kami sebut “Nutur Capi”.  Istilah tersebut jadi lumrah sebagai sebuah kegiatan di kampung saya. Kami biasa menggunakannya dalam percakapan sehari-hari seperti “Nyari capi yoook?” atau “Abis nutur capi”.

Kebiasaan Nutur Capi biasanya kami lakukan seusai hujan. Biasanya buah kecapi rontok oleh angin. Kami berlomba-lomba menjadi yang pertama sampai di bawah pohon kecapi agar mendapat kecapi lebih banyak. Jam 6 pagi, di kala mata kami masih berbelek, juga menjadi waktu favorit untuk Nutur Capi. Angin malam juga banyak merontokan buah kecapi.

Nutur Capi itu seperti main judi, sangat untung-untungan. Kami tidak bisa menerka berapa banyak buah kecapi akan rontok. Kadang banyak sekali, kadang tidak ada sama sekali.
Biasanya kami berjaga-jaga dengan membawa kantong kresek untuk menampung buah kecapi yang kami dapatkan. Kalau kebetulan kami lupa membawa kantong kresek, maka kami akan menjadikan kaos kami sebagai penampung.  Kami mengandut buah kecapi hingga getah buah kecapi menodai kaos kami. Tentu saja ini akan membuat para ibu marah.

Seusai Nutur Capi, kecapi yang didapatkan biasanya akan saya tebar di teras rumah saya. Kecapi-kecapi yang kulitnya agak kotor karena terjatuh di tanah yang becek, akan saya cuci dulu.  Melihat kecapi berserakan di teras rumah memberi kepuasaan dan kebanggaan sendiri yang tidak kalah dengan keberhasilan orang memancing. Dengan menebar kecapi-kecapi tersebut, saya bisa melihat besar kecil dan warna kecapi yang berbeda-beda. Begitulah cara saya memilih kecapi mana yang akan saya makan terlebih dahulu. Saya sering menyelingnya, besar-kecil-besar-sedang-kecil-sedang…dan sebagainya.

Buah kecapi mempunyai rasa asam manis. Rasa yang selalu membuat orang ketagihan karena dua zona rasa dilibatkan. Bentuk buahnya bulat, sebesar buah manggis atau jeruk. Kulitnya kesat. Berwarna kuning jika sudah masak, hijau kalau masih muda. Kulitnya keras sehingga butuh benda yang cukup tajam untuk mengupasnya. Kalau sudah masak, kulit buah kecapi menipis sehingga bisa kami kupas dengan menggarotnya. Ups! Tapi jangan memakan kulitnya karena asam dan getir.

Kalau malas mengupas dengan gigi, kami jarang menggunakan pisau. Kami mengupas buah kecapi dengan menjepitnya di engsel pintu. Kecapi yang terjepit , kulitnya akan pecah dan memudahkan kami mengambil isinya. Cara lain yaitu dengan membanting buah kecapi atau membenturkannya di ujung pinggir teras. Intinya, kita harus membuat kulit kecapi pecah agar bisa memakan isinya. Memang terdengar sadis
sih, cuma cara-cara ini lebih diizinkan orang tua kami kebanding kami menggunakan pisau. Selain bisa melukai kami, juga bisa sering hilang kalau kami gunakan.Isi buah kecapi persis seperti manggis. Terdiri dari biji-biji yang tersusun melingkar dan dibungkus daging yang bisa dimakan. Bedanya warna daging buang kecapi putih dan lebih tebal. Daging inilah yang rasanya asam manis. Sebelum masuk mulut, daging ini agak padat. Saat dikunyah dimulut, daging akan mencair dan menjadi serabut-serabut halus yang menempel di bijinya. Serabut-serabut itu serkadang tersangkut di sela-sela gigi kita.

Kelama-lamaan serabut itu akan hilang rasanya karena terhisap saat dikunyah. Bijinya yang pahit pun akan mulai terasa di lidah apabila daging kecapi mulai menipis. Saat itulah kita harus membuangnya dari mulut kita. Namun ada beberapa teman saya yang senang menelan biji tersebut. Tapi hati-hati, biji kecapi tidak dapat dicerna di perut, menelannya terlalu banyak akan membuat susah buang air besar.

Kami juga senang bermain-main dengan biji kecapi yang telah dikunyah itu. Permainannya sangat konyol dan jorok, yaitu dengan menempelkan biji kecapi tersebut ke dinding. Kami menempelkan biji kecapi langsung dari mulut yaitu dengan menyemburkannya ke dinding yang dituju. Tidak ada pemenang dalam perlombaan ini, namun kami sangat bangga apabila biji kecapi yang kami semburkan bisa menempel sangat lama di dinding tersebut.

Oh ya, di sekitar rumah saya ada dua jenis kecapi. Kami menyebutnya Kecapi Daun dan Kecapi Lumut. Kecapi Daun warnanya kuning terang. Kulitnya lebih tipis sehingga mudah dikupas. Kecapi jenis ini, meski kecil terkadang sudah matang. Daging kecapi ini lebih cepat mencair di mulut. Berbeda dengan Kecapi Lumut yang warna kuningnya agak gelap. Dagingnya tebal dan lebih lama mencair di mulut. Kulit Kecapi Lumut sangat tebal sehingga buah yang masih muda susah sekali dikupas.  Ukuran kecapi lumut juga biasanya lebih besar.

Menghadapi musim hujan mengingatkan saya ke musim kecapi yang penuh perburuan dan keasyikan. Keriangan-keriangan saya menutur capi. Kekonyolan-kekonyolan dengan buah kecapi. Terkadang saya mendengar tetes hujan seperti rontokan buah kecapi. Dimana lagi saya mencari? Ah sudahlah, liur saya mulai banjir.

Dan kecapi sepertinya telah menjadi buah langka yang sulit di jumpai lagi di tanah betawi.