Ku Tunggu Kau Ibu

Masih segar dalam ingatanku ibu. Pagi itu, saat matahari belum sempurna menampakkan sinarnya, kita dibangunkan bukan lagi oleh suara muadzin. Tapi raungan jet tempur yang menggugah tidur kita, aku lebih merapat lagi dalam pelukanmu dan kau pun semakin giat mengusap kepala ku seraya berkata; “ La takhof, Innallah ma’ana.” Persis seperti kisah yang sering di ulang oleh ustadzah ku di madrasah, tentang sabda  Rasulullah saat sedang menenangkan sahabat terkasihnya Abu Bakar yang ketakutan di kejar musyrikin Quraisy dalam perjalanan hijrah ke madinah.

Ibu, tak lama kemudian ku dengar suara ayah menyeru agar kita segera berlindung, karena beliau akan menghadapi sepasukan orang pengecut itu bersama para pejuang hamas yang pemberani, kau pun menuntun tanganku untuk kemudian mengajakku berlari kecil ke arah masjid untuk mengamankan diri dari serbuan kaum pembangkang itu.

Di masjid ternyata telah ada kawan – kawan ku dan para ibunya berkumpul, kulihat di pojok barat Abdullah dengan pandangan menerawang memeluk lututnya, sedang di sampingnya, fariz, kakak kelas ku di madrasah, merengek meminta izin kepada ibunya agar diperbolehkan keluar dan ikut mengahadapi Israel dengan lemparan batu dari tangan kecilnya. Namun ibunya tidak mengizinkan.

Ibu, aku melihat ketegaran saat menetap matamu. Sebuah ketegaran yang bercampur keberanian memancar disana. Mengalirkan energi kehidupan ke relung dadaku. Engkau menuntunku untuk berwudhu dan melaksanan shalat fajar, “shalat adalah senjata terampuh kita.” Begitu kata – kata yang sering diulang ayah tiap kali beliau hendak mengimami shalat- shalat berjama’ah.

Belum genap 2 raka’at shalat kita, tiba – tiba terdengar dentuman bom yang meledak tidak begitu jauh dari masjid tempat kita berlindung, spontan semua yang berada di dalam masjid bertakbir dan bertahlil untuk meneguhkan hati.

Selang beberapa menit, aku mendengar dengan jelas raungan pesawat pengintai milik zionis sepertinya terbang rendah dan berkeliling di atas masjid, semuanya saling merapat, bukan karena ketakutan, tapi lantaran ingin saling menyalurkan energi keyakinan, yakin akan pertolongan yang Allah telah janjikan kepada orang – orang yang beriman.

Aku melihat Fariz semakin bersemangat merayu ibunya agar di izinkan bergabung bersama mujahidin yang sedang menghalau Israel, “ lebih baik aku mati dengan batu tergenggam di tangan dari pada aku bersembunyi di sini.” Begitulah katanya kepada sang Ibu. Melihat keteguhan fariz, ibunya luluh dan mengizinkan dengan ikhlas ia bergabung bersama para pejuang. Kami semua melepasnya dengan senyuman, sayang usiaku baru 6 tahun, masih terlalu muda untuk menyertainya. Tapi aku bertekad, jika Allah masih memberikan ku usia hingga tahun depan, aku akan bertindak seperti fariz.

Setelah kepergian fariz, kita semua kembali berzikir. Iya kan bu?? Rentetan tembakan terdengar kian bersahutan. Menebar aroma kematian, sebuah hal yang sangan kita dambakan, seperti cerita – cerita sahabat Rasulullah yang sering engkau kisahkan saat menidurkanku.
“Dhuuarrr….”

Roket Israel menghantam bagian depan masjid ini bu..

Aku takut bu…

Takut karena aku belum berkesempatan bergabung bersama barisan pejuang seperti harapanmu..

“Dhuaarrrr….”

Kali ini Roket itu mengantam bagian Masjid yang kita tempati, aku melihat banyak syuhada yang bergururan, dan aku terbaring dengan kepala yang terasa hangat, darah mengalir deras di sana sepertinya. Tapi bu, kenapa aku melihat banyak orang – orang cantik yang menjemputku?? mereka datang bersama seberkas cahaya. Engkau di mana bu?? Ibu, aku takut….

Ibu….

Ibu…

Jumlah mereka semakin banyak bu, engkau dimana??

Tiba – tiba salah satu diantara mereka menghampiriku,”mari ikut kami, kau akan terbebas dari kepedihan ini nak.” Ujarnya seraya tersenyum.
“Tapi, aku tidak mau pergi tanpa ibuku” jawabku.
“Tenang, ibu mu sudah menunggu terlebih dahulu bersama ayah dan kawan – kawan mu seperti Fariz.”
Cahaya itu semakin terlihat, entahlah, mungkin ini syurga seperti yang sering dikisahkan oleh Ustadz Mas’ud di madrasah..
Yang jelas…
Cahaya itu semakin nyata dan aku ikut bersama orang – orang baik lagi cantik itu, ku tunggu kau ibu..

*Cerpen lama tentang gaza
Yk.090109
Persembahan untuk para mujahid cilik di Palestina,
Keberanian kalian telah membuat kami di sini tertunduk malu
Dhieaje
*gambar minjem dari google images