Jakarta (jangan) di Buang!

Jakarta dibuang aja!

“Apa yang kalian pikirkan tentang Jakarta?”

Begitu pertanyaan disebuah akun twitter beberapa hari yang lalu.

Kemudian ramailah orang mereply pertanyaan tersebut, karena sang pemilik akun adalah seorang politisi yang terkenal.

“Jakarta t*i an***g lah!”

“Jakarta harusnya di hapus aja dari peta”

“Menghabiskan sebagian umur dijalanan Jakarta karena kemacetan”

“Keras”

“Kriminal gan!”

Serta masih banyak lagi komentar lain yang masuk, dan hebatnya tidak ada satupun yang memberikan komentar positif tentang Jakarta.

Di lain kesempatan, awal bulan lalu. Dalam angkot 112 jurusan Depok-Kp.Rambutan, terjadi percakapan dua orang yang saya taksir adalah pegawai kantoran.

“Anjrit, harusnya gw udah sampe rumah ni jam segini”

“Biasalah, bukan Jakarta lah klo nggak macet”

“Kaya t** emang kota ini, mendingan kampung gw juga lah”

Saya nyela..

“yang nyuruh datang ke Jakarta siapa mas?”

Adegan selanjutnya tidak perlu dituliskan disini, karena hanya adegan gak penting, caci maki ala ibu kota dan saya khawatir ada anak di bawah umur membaca tulisan ini lalu menirunya.

Jakarta kota sejuta rasa, semua bercampur disana, hitam, putih, abu-abu, merah, kuning, hijau, lengkap. Semua ada. Dalam kesempatan ini saya ingin membawa anda mengenal sisi lain dari Jakarta, sisi yang selama ini di lupakan , bagian yang selama ini hanya menjadi sampah di sudut kota.

Jakarta keras, betul.

Jakarta kota macet, betul.

Jakarta kota banjir, betul.

Jakarta kriminal, bisa di bilang betul.

Lalu apa masalahnya sehingga saya berkepentingan membuat tulisan ini?

Okay, pertama saya ingin menjernihkan persoalan bahwa saya tidak bermaksud untuk SARA,menjadi chauvinis, atau apalah namanya itu. saya hanya ingin memberikan perspektif lain tentang Jakarta. Seperti seorang anak yang membela ketika orang tuanya di lecehkan, seperti kita (orang Indonesia) yang marah membabi buta saat beberapa kekayaan budaya juga alam Indonesia di caplok begitu saja oleh Malaysia.

Kedua, saya ingin kita semua bisa menjadi manusia seutuhnya, seperti pepatah para leluhur: dimana bumi di pijak, di situ langit di junjung. Artinya saya ingin kita bisa menghormati semua yang berlaku ditempat yang kita tinggali. Saya memang Asli Jakarta, Ibu saya dari Condet dan Ayah saya dari Jatinegara, namun sejak usia sekolah dasar saya sudah meninggalkan kota tercinta itu, melanglang buana, menyelesaikan pendidikan dasar di Bogor, sempat singgah di Karawang, sekolah lanjutan tingkat pertama di Tangerang Selatan, lalu SMA di Serang dan kini saya berdomisili di Yogyakarta. Pengalaman itu membuka mata saya bahwa Indonesia tidak lah milik satu suku saja, begitu pula dengan Jakarta.

Dulu Babanya engkong saya dalam satu kesempatan, pernah berbicara disebuah masjid, saat itu sedang musimnya urbanisasi dari berbagai daerah ke Jakarta. Sebagai sesepuh, beliau didaulat oleh masyarakat untuk bicara, katanya: “Gua lahir di Jakarta, ikut ngebebasin Jakarta dulu dari jepang, jadi saksi waktu monas di bangun, bahkan tanah emak moyang gw yang sekarang jadi stadion senayan (Gelora Bung Karno-pen) . Jakarta kampung halaman gw, tapi gw kaga mau serakah, elu pada boleh nyari makan dimari, nyari idup di mari, ntu kebon salak di batu ampar boleh lu pade olah, kalo ada orang betawi nyang ngusik-ngusik, leher  gw jadi jaminannya. Tapi elu pade kudu tengetin, Anggap Jakarta eni kampung lu juga, kudu lu jaga, kudu lu pelihara. Jangan sekali-kali elu cuman ngambil untung dimari terus dibawa balik ke kampung asal lu pada. Selamet dateng dah di mari, mudah-mudahan pada betah”

Itulah deklarasi beliau, ucapan selamat datang dari penduduk asli condet kepada para pendatang, diawal tahun 80-an. Orang betawi, tidak sama sekali merasa memiliki Jakarta sendiri, mereka sadar bahwa ketika Jakarta di tetapkan sebagai ibu kota, maka Jakarta dan lima wilayah wilayah betawi (begitu istilah Bens radio menyebut Jabodetabek) milik Indonesia, semua orang dari manapun asalnya, apapun warna kulitnya, bagaimanapun bahasanya berhak tinggal dan mencari hidup di Jakarta, kampung halaman mereka. Bahkan mereka rela berbagi tanah untuk para pendatang yang mengadu nasib di ibu kota, dan mereka hanya meminta satu syarat: “Anggap Jakarta eni kampung lu juga, kudu lu jaga, kudu lu pelihara” Be respect please..!

Dan hari ini, Jakarta sekarat.

Siapa yang masih peduli?

Para pendatang sibuk cari uang, sambil sesekali memaki Jakarta.

Penduduk aslinya sibuk rebutan warisan, terkotak-kotak dalam berbagai organisasi yang memunculkan kecurigaan sesama warga betawi. Atau yang merasa “kalah” memilih hijrah ke wilayah pinggiran Jakarta.

Jakarta sekarat, darah di nadinya hampir muncrat lantaran tersumbat jutaan kendaraan beroda dua dan empat.

Jakarta sekarat, Jantungnya hampir berhenti berdetak lantaran selalu kemasukan air bah luapan hujan.

Jakarta sekarat, lantaran anak-anak kecil yang tinggal di atas nya sudah mahir menggunakan pedang untuk membunuh orang yang berbeda seragam, sudah mahir memaki dengan bahasa yang paling menjijikan.

Siapa yang mau peduli?

Sekali lagi, silahkan anda tinggal di Jakarta, tidak peduli anda bermata sipit atau belo, tidak peduli anda di panggil mas, abang, uda, akang, kokoh, cici atau kakak, tidak peduli anda beroda dua, empat atau enam.

Tapi sekali lagi,

Jaga dan cintai kota itu, seperti anda mencintai kampung halaman yang selalu anda rindukan, yang tiap tahun saat hari raya selalu anda nantikan keharumannya.

Jakarta tidak punya salah saudara, kalau pun saat ini anda menyaksikan banyak kesalahan terjadi di tanah Jakarta, itu karena pengelolanya tidak benar-benar cinta pada Jakarta. Mereka sekadar cari uang, cari kedudukan, cari jabatan. Apa peduli mereka pada Jakarta dengan budayanya! Buktinya cagar budaya Jakarta saja dipindahkan puluhan kilometer jauhnya dari Jakarta! Kalau babanya engkong saya masih hidup, merekalah yang saya rasa pertama kali akan di datangi oleh beliau sambil mengacungkan bendo-nya.

Jadi, tidak ada lagi alasan untuk memaki Jakarta, karena anda, saya, kita semua hidup di atasnya. Jakarta “memberikan” kita kehidupan yang tidak bisa kita dapatkan di kampung halaman. Betul-betul pedih rasanya hati mendengar ada orang yang memaki jakarta.

Sekali lagi “Anggap Jakarta eni kampung lu juga, kudu lu jaga, kudu lu pelihara” Be respect please..!

KAMPUNG KITA KALAU BUKAN KITA YANG NGEJAGA, SIAPA LAGI?!

 

Tulisan ini untuk semua saudara saya yang sudah lama tinggal , baru tinggal, atau baru saja akan datang di Jakarta.

Kota Pengasingan, 24 Maret 2011.

Dudy Sya’bani Takdir bin K.H.Bunyamin Thaufa bin Hasan Bin H.Hasbulloh.

Tinggalkan komentar